Selasa, 24 Maret 2009

Masalah KB/Alat Kontrasepsi

Islam sangat menganjurkan umatnya untuk memiliki banyak keturunan, yang tentunya keturunan yang banyak tersebut betul-betul diharapkan kebermanfaatannya, bukan justru mengacaukan dan memperburuk wajah Islam dan umat Islam. Seperti banyak umat Islam yang berada pada kebodohan, kemiskinan dan kemelaratan. Diantara penyebabnya adalah jumlah populasi manusia yang semakin banyak tanpa diiringi dengan kualitas. Sehingga negara tidak mampu memberikan fasilitas kehidupan yang layak bagi pendidikan, pekerjaan dan kesehatan masyarakatnya.

Islam pada hakikatnya menghendaki umatnya memiliki keturunan-keturunan yang baik secara fisik maupun psikis. pendidikan, kesehatan dan ekonomi anak-anak terjamin sampai hari tuanya. Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam al-Quran:

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. Al-Nisa:9)

Menurut Yusuf Qardhawi dalam bukunya halal dan haram bahwa diantara banyak alasan yang mendorong dilakukannya keluarga berencana, yakni:

1. Khawatir terhadap kehidupan atau kesehatan si ibu apabila hamil atau melahirkan anak, yakni setelah dilakukan suatu penelitian dan pemeriksaan oleh dokter yang dapat dipercaya. Karena Allah berfirman: “Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. al-Baqarah:195)

2. Khawatir terjadinya bahaya pada urusan dunia yang kadang-kadang bisa mempersulit ibadah, sehingga menyebabkan orang mau menerima barang yang haram dan mengerjakan yang terlarang, justru untuk kepentingan anak-anaknya. Sedangkan Allah telah berfirman: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. al-Baqarah:185). “Allah tidak hendak menyulitkan kamu.” (QS.a l-Maidah:6). Termasuk yang mengkhawatirkan anak ialah tentang kesehatan dan pendidikannya. Usamah bin Zaid meriwayatkan, “Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi Saw. Kemudian ia berkata, ‘ya Rasulullah! Sesungguhnya saya melakukan azl pada isteriku.’ Kemudian Nabi bertanya, ‘mengapa kamu berbuat begitu?’ Si laki-laki tersebut menjawab, ‘karena saya merasa kasihan terhadap anaknya, atau ia berkata, anak-anaknya.’ Lantas Nabi bersabda, ‘Seandainya hal itu berbahaya, niscaya akan membahayakan bangsa Parsi dan Rum.” (HR. Muslim).

3. Keharusan melakukan azl yang biasa terkenal dalam syara’ ialah karena mengkhawatirkan kondisi perempuan yang sedang menyusui kalau hamil dan melahirkan. Nabi menamakan bersetubuh sewaktu perempuan masih menyusui, dengan ghilah atau ghail, karena penghamilan itu dapat merusak air susu dan melemahkan anak. Dinamakannya ghilah atau ghail, karena suatu bentuk kriminalitas yang sangat rahasia terhadap anak yang sedang disusui. Oleh karena itu sikap seperti ini dapat dipersamakan dengan pembunuhan misterius (rahasia). Nabi Muhammad selalu berusaha demi kesejahteraan umatnya. Untuk itu ia perintahkan kepada umatnya supaya berbuat apa yang kiranya membawa maslahat dan melarang yang kiranya akan membawa bahaya.

Pengertian Keluarga Berencana

Istilah Keluarga Berencana mempunyai arti yang sama dengan istilah yang umum dipakai di dunia internasional yakni family planning atau planned parenthood. Yaitu suatu perencanaan yang kongkrit mengenai kapan anak-anaknya diharapkan lahir agar setiap anaknya lahir disambut dengan rasa gembira dan syukur. Juga merencanakan berapa anak yang dicita-citakan yang sesuai dengan kemampuannya sendiri dan situasi-kondisi masyarakat dan negaranya.

Dalam istilah Arab, KB juga memiliki arti yang sama dengan tanzhim al-nasl, yaitu pengaturan keturunan/kelahiran. Bukan tahdid al-nasl, birth control atau pembatasan kelahiran. Menurut Muhammad Syaltut, jika program KB itu dimaksudkan sebagai usaha pembatasann anak dalam jumlah tertentu, misalnya hanya 3 anak untuk setiap keluarga dalam segala situasi dan kondisi tanpa kecuali, maka hal tersebut bertentangan dengan syariat Islam, hukum alam, dan hikmah Allah menciptakan manusia agar berkembang biak dan dapat memanfaatkan karunia Allah untuk kesejahteraan hidupnya.

Jadi KB atau family planning difokuskan pada perencanaan, pengaturan, dan pertanggungjawaban orang terhadap anggota-anggota keluarganya.

Macam-Macam Alat Kontrasepsi

Ada beberapa alat kontrasepsi dalam pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB) yang dikenal di Indonesia pada saat ini, yaitu:

  1. Pil, berupa tablet yang berisi bahan progestin dan progesteron yang bekerja dalam tubuh wanita untuk mencegah terjadinya ovulasi dan melakukan perubahan pada endometrium.
  2. Suntikan, yaitu menginjeksikan cairan ke dalam tubuh wanita yang dikenal dengan cairan devofropera, netden dan noristerat. Kontra indikasi tidak disuntikan kepada wanita yang sedang hamil, pengidap tumor ganas, berpenyakit jantung, paru-paru, liver, hipertensi dan diabetes.
  3. Susuk KB, yaitu berupa lepemorgestrel, yang terdiri dari enam kapsul yang diinsersikan di bawah kulit lengan bagian dalam kira-kira 6 sampai 10 cm dari lipatan siku.
  4. IUD (Intra Uterine Device/AKDR (Alat kontrasepsi dalam rahim), terdiri dari livesslov (spiral), multiload dan cover terbuat dari plastik halus dengan tembaga tipis.
  5. Cara-cara tradisional dan metode sederhana; misalnya minum jamu dan metode klender.

Semua alat tersebut digunakan oleh perempuan (isteri) dan dibolehkan karena sifatnya yang permanen, jika tidak lagi menggunakan alat tersebut, seorang isteri dapat kembali hamil dan melahirkan seperti semula.

Adapun alat kontrasepsi yang sering digunakan kaum pria adalah kondom dan coitus Interruptus (Azl).

Alat kontrasepsi IUD /AKDR pernah difatwakan oleh Majlis Ulama Indonesia tahun 1972 sebagai alat kontrasepsi yang tidak dibenarkan selama masih ada obat-obat dan alat-alat lain. Kemudian Musyawarah Nasional Ulama tahun 1983 memfatwakan sebaliknya bahwa penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim (IUD) dapat dibenarkan jika pemasangan dan pengontrolannya dilakukan oleh tenaga medis atau paramedis wanita, atau jika terpaksa dapat dilakukan oleh tenaga medis pria dengan didampingi oleh suami atau wanita lain.

Perbedaan kedua fatwa ini bisa dimungkinkan karena illat hukum yang menjadi alasan hukum ijtihad itu telah berubah, atau karena zaman, waktu, dan situasi kondisinya telah berubah pula. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam:

“Hukum itu berputar di atas illatnya (alasan yang menyebabkan adanya hukum) adanya atau tidaknya.”

“Hukum-hukum itu bisa berubah karena perubahan zaman, tempat dan keadaan.”

Hukum menggunakan Alat Kontrasepsi KB

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa jika KB bertujuan untuk membatasi keturunan tanpa ada alasan yang dibenarkan, maka tidak dibenarkan menurut syariat Islam. Oleh karena itu niat untuk menggunakan alat kontrasepsi KB harus terlebih dahulu diluruskan. KB bukan untuk membatasi kelahiran tetapi dititikberatkan kepada perencanaan, pengaturan dan pertanggungjawaban orang terhadap anggota-anggota keluarganya. Dengan demikian, hukum menggunakan alat kontrasepsi KB dibolehkan. Hal ini didasarkan kepada firman Allah Swt:

وليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم فليتقوا الله وليقولوا قولا سديدا

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. Al-Nisa:9)

KB juga dibolehkan dalam rangka menyiapkan generasi-generasi yang kuat iman, fisik dan psikisnya. Hal ini sebagaimana dianjurkan dalam Sunnah Rasulullah Saw:

المؤمن القويّ خير وأحبّ الى الله من المؤمن الضعيف (رواه مسلم)

“Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah.” (HR. Muslim).

Hukum asal menggunakan alat kontrasepsi KB adalah mubah, karena tidak ada nash sharih yang melarang ataupun memerintahkannya. Hal ini diisyaratkan dalam sebuah kaidah:

“Pada dasarnya segala sesuatu/perbuatan itu boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”

Menurut Masjfuk Zuhdi bahwa hukum menggunakan alat kontrasepsi bisa berubah dari mubah (boleh) menjadi sunnah, wajib, makruh atau haram. Perubahan tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi individu muslim yang bersangkutan dan juga memperhatikan perubahan zaman, tempat dan keadaan masyarakat/negara. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam:

“Hukum-hukum itu bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat dan keadaan.”

Hukum mubah jika seseorang menggunakan alat kontrasepsi KB dengan motivasi yang bersifat pribadi, seperti menjarangkan kehamilan/kelahiran, atau untuk menjaga kesehatan/kesegaran dan kelangsingan badan si ibu, tetapi jika ber-KB disamping punya motivasi pribadi juga motivasi yang bersifat kolektif dan nasional seperti kesejahteraan masyarakat/negara, maka hukumnya bisa sunah atau wajib, tergantung pada keadaan masyarakat dan negara, misalnya kepadatan penduduk, sehingga tidak mampu mendukung kebutuhan hidup penduduknya secara normal.

Hukum KB bisa makruh jika pasangan suami isteri tidak menghendaki kehamilan si isteri, padahal suami tersebut tidak ada hambatan/kelainan untuk mempunyai keturunan. Bahkan hukum ber-KB juga bisa haram jika melaksanakan KB dengan cara yang bertentangan dengan norma agama. Misalnya dengan cara vasektomi atau tubektomi (sterilisasi).

Menurut Mahjuddin KB dibolehkan dalam ajaran Islam karena pertimbangan ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Bahkan menjadi dosa baginya jikalau ia melahirkan anak yang tidak terurusi dengan baik masa depannya; yang akhirnya menjadi beban yang berat bagi masyarakat, karena orangtuanya tidak menyanggupi biaya hidupnya, kesehatan dan pendidikannya. Hal ini berdasarkan pada ayat 9 surat al-Nisa.

Dasar hadits dibolehkan menggunakan alat kontrasepsi adalah hadits yang bersumber dari Jabir,

“Kami pernah melakukan ‘azal (coitus interuptus) di masa Rasulullah Saw, sedangkan al-Quran saat itu masih selalu turun. (HR. Bukhari-Muslim).

Berikut ini dapat disimpulkan, beberapa pandangan ulama berkaitan dengan Keluarga Berencana, terbagi kepada ulama yang membolehkan dan ulama yang melarang:

Diantara ulama yang membolehkan adalah:

1. Imam Ghazali,

KB dibolehkan dengan motif yang dibenarkan, seperti: untuk menjaga kesehatan si ibu, untuk menghindari kesulitan hidup, karena banyak anak dan untuk menjaga kecantikan si ibu.

2. Syekh al-Hariri (Mufti besar Mesir). Sama halnya dengan Imam Ghazali, Syekh al-Hariri juga memberikan alasan-alasan dibolehkan KB, yaitu: untuk menjarangkan anak, untuk menghindari suatu penyakit bila ia mengandung, untuk menghindari kemudharatan bila ia mengandung dan melahirkan dapat membawa kematiannya, untuk menjaga kesehatan si ibu, karena setiap hamil selalu menderita suatu penyakit dan untuk menghindari anak dari cacat fisik bila suami atau isteri mengidap penyakit kotor.

3. Syekh Mahmud Syaltut, dibolehkan KB dengan motif bukan pembatasan kelahiran tetapi untuk mengatur kelahiran.

Sedangkan ulama-ulama yang mengharamkan KB adalah:

1. Abu A’la al-Maududi

Abu A’la al-Maududi adalah salah seorang ulama yang menentang pendapat orang yang membolehkan KB. Karena pada hakikatnya KB adalah untuk menghindari dari ketentuan kehamilan dan kelahiran seorang anak manusia. Larangan ini didasarkan kepada firman Allah Swt:

ولا تقتلوا أولادكم من إملاق نحن نرزقكم وإياهم

“... dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka.... “(QS. al-An’am:151).

Ayat ini dikuatkan dengan firman Allah yang lain:

ولا تقتلوا أولادكم خشية إملاق نحن نرزقهم وإياكم إنّ قتلهم كان خطأ كبيرا

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS. al-Israa:31)

Qardhawi dalam kitabnya “Halal dan Haram dalam Islam”: berpendapat berkaitan dengan masalah penggunaan alat kontrasepsi adalah bahwa menjadi sebuah keringanan (rukhshah) bagi muslim dalam masalah keturunan jika terdapat sebuah penyakit yang membutuhkan obat yang masuk akal atau hal yang darurat yang dibenarkan, menggunakan cara yang digunakan oleh orang-orang pada masa nabi SAW seperti ‘azl (dan telah ditemukan bermacam-macam cara di zaman sekarang yang disebut sebagai kontrasepsi).


Diantara yang termasuk darurat yaitu: Kekhawatiran akan kondisi atau kesehatan ibunya jika hamil atau menyusui yang kesemuanya itu harus karena pengalaman atau karena rekomendasi dokter yang terpercaya. ALLAH SWT berfirman: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
(QS. Al-Baqarah: 195)


Juga yang termasuk darurat adalah kekhawatiran akan kondisi dan kesehatan janin atau keguncangan dalam pendidikannya. Telah datang seorang laki-laki kepada nabi SAW dan berkata: Wahai rasuluLLAH aku melakukan ‘azl saat berhubungan sex dengan istriku. Maka Nabi SAW bertanya: Mengapa kamu melakukannya? Maka jawab laki-laki tersebut: Saya khawatir kepada anak yang akan lahir. Maka kata Nabi SAW: Kalau ‘azl itu berbahaya maka pasti telah membahayakan bagi bangsa Persia dan Romawi
.


Dalam hadits tersebut seolah-olah nabi SAW mengisyaratkan bahwa perbuatan tersebut merupakan hal yang bersifat personal sehingga tidak membahayakan bagi umat, ditunjukkan dengan perkataan bahwa hal tersebut tidak membahayakan bagi bangsa Persia dan Romawi (yang telah melakukan ‘azl sebelum bangsa Arab) yang kedua bangsa tersebut merupakan negara terkuat di dunia pada masa itu (Adapun jika ‘azl tersebut secara umum membahayakan umat dalam bentuk mengurangi jumlah ummat atau melemahkannya baik kualitas maupun kuantitasnya maka hukumnya haram).

Diantaranya kekhawatiran sedang menyusui sementara harus hamil lagi (sehingga merusak kualitas susu dan melemahkan bayi), sehingga nabi SAW menyebut hubungan sexual saat menyusui sebagai merusak kualitas susu dan melemahkan bayi yang merupakan kiasan halus seolah-olah pembunuhan tersembunyi.


Bersabda nabi SAW: Janganlah kalian bunuh anak-anakmu secara tersembunyi, karena sesungguhnya bersanggama saat menyusui bagaikan penunggang kuda yang saling berlomba. Yang dimaksud saling berlomba adalah karena seorang wanita yang hamil, saat menyusui maka bayi yang dikandungnya dan anak yang sedang disusuinya saling berebut untuk mendapatkan air susu ibunya, seperti seorang penunggang kuda yang saling memacu kudanya (sampai disini selesai kutipan dari DR al-Qardhawi).

Adapun mencegah kehamilan secara sengaja tanpa ada uzur / darurat baik menggunakan obat, atau operasi atau yang semisal dengan itu maka hukumnya haram karena yang demikian itu menghalangi keturunan yang diperintahkan untuk dijaga oleh Islam dalam rangka memakmurkan bumi.


Berkata Imam Ibnu Hajar: Diharamkan menggunakan segala sesuatu yang dapat memutuskan/merusak janin dari rahim ibunya. Dan demikian pula hal tersebut berlaku bagi laki-laki, karena pada dasarnya Islam melarang perbuatan tersebut jika tanpa ada uzur/darurat.


Dan telah bertanya abu Hurairah ra kepada nabi SAW: Agar diberikan keringanan untuk mengebiri dirinya karena tidak mampu menikah, sementara ia masih muda dan takut terjerumus kepada dosa, tetapi tidak diizinkan oleh nabi SAW.

Dari perbedaan pendapat di atas, Ali Hasan menganjurkan kepada orang-orang yang melaksanakan KB harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

1. Segi ekonomi, suami, isteri hendaknya mempertimbangkan mengenai pendapatan dan pengeluaran dalam rumah tangga.

2. Segi sosial, suami isteri hendaknya dapat memikirkan mengenai pendidikan anak, kesehatan keluarga, perumahan dan keperluan rekreasi untuk keluarga.

3. Segi lingkungan hidup, biasanya kalau penduduk banyak, sedang sarana tidak memadai, maka akan terjadi kerusakan lingkungan, seperti sampah, limbah yang kotor, air yang tidak bersih dan lain-lain.

4. Segi kehidupan beragama, ketenangan hidup beragama dalam suatu keluarga, banyak faktor penentuannya, seperti faktor ekonomi, sosial, lingkungan dan pendidikan yang dimiliki suami isteri dalam menciptakan keharmonisan antara semua keluarga.

Alat Kontrasepsi yang Haram.

Disamping ada alat kontrasepsi yang dibolehkan, ada juga alat kontrasepsi yang diharamkan, yaitu:

  1. Ligasi tuba, yaitu mengikat saluran kantong ovum
  2. Tubektomi, yaitu mengangkat tempat ovum
  3. Vasektomi, yaitu mengikat atau memutuskan saluran sperma dari buah zakar.

Ketiga cara di atas disebut dengan sterilisasi atau pengakhiran kesuburan. Hukum sterilisasi ini adalah haram karena mengakibatkan seseorang tidak dapat mempunyai anak lagi (pemandulan selama-lamanya).

Vasektomi (sterilisasi bagi lelaki) berbeda dengan khitan lelaki dimana sebagian dari tubuhnya ada yang dipotong dan dihilangkan, yaitu kulup (qulfah bhs. Arab, praeputium bhs. Latin) karena jika kulup yang menutupi kepala zakar (hasyafah/glans penis) tidak dipotong dan dihilangkan justru bisa menjadi sarang penyakit kelamin (veneral disease). Karena itu, khitan untuk laki-laki justru sangat dianjurkan.

Tetapi kalau kondisi kesehatan isteri atau suami yang terpaksa seperti untuk menghindari penurunan penyakit dari bapak/ibu terhadap anak keturunannya yang bakal lahir atau terancamnya jiwa si ibu bila ia mengandung atau melahirkan bayi, maka sterilisasi dibolehkan oleh Islam karena dianggap dharurat. Hal ini diisyaratkan dalam kaidah:

الضرورة تبيح المحظورات

“Keadaan darurat membolehkan melakukan hal-hal yang dilarang agama.”

Majlis Ulama Indonesia pun telah memfatwakan keharaman penggunaan KB sterilisasi ini pada tahun 1983 dengan alasan sterilisasi bisa mengakibatkan kemandulan tetap.

Menurut Masjfuk Zuhdi bahwa hukum sterilisasi ini dibolehkan karena tidak membuat kemandulan selama-lamanya. Karena teknologi kedokteran semakin canggih dapat melakukan operasi penyambungan saluran telur wanita atau saluran pria yang telah disterilkan. Meskipun demikian, hendaknya dihindari bagi umat Islam untuk melakukan sterilisasi ini, karena ada banyak cara untuk menjaga jarak kehamilan.

Latihan

Untuk memantapkan pemahaman Anda terhadap materi ini, Jawablah pertanyaan di bawah ini:

1. Jelaskan pengertian KB?

2. Jelaskan pandangan ulama tentang hukum KB?

3. Sebutkan jenis-jenis KB yang sering dibolehkan?

4. Sebutkan jenis-Jenis KB yang diharamkan?

5. Sebutkan dalil naqli yang digunakan ulama dalam membolehkan dan mengharamkan KB?

Rangkuman

1. KB dibolehkan dengan tujuan bukan untuk pembatasan keturunan atau kelahiran tetapi pengaturan jarak kelahiran, kesehatan dan pendidikan.

2. Alat-alat kontrasepsi yang dibolehkan adalah yang sifatnya sementara, seperti pil, suntik, susuk, IUD, kondom dan azal.

3. Alat kontrasepsi yang diharamkan adalah yang sifatnya pemandulan selama-lamanya. Seperti ligasi tuba, tubektomi dan vasektomi. (sterilisasi).

4. Islam hanya membolehkan sterilisasi karena semata-mata alasan medis. Selain alasan medis, seperti banyak anak atau kemiskinan tidak dapat dijadikan alasan untuk sterilisasi.

Tes Formatif

Pilihlah jawaban di bawah ini yang benar dan tepat

1. Berikut ini nama lain dari KB (keluarga berencana), kecuali:

a. Family planning c. Planned parenthood

b. Tanzhim al-nasl d. Keluarga Besar

2. KB yang pernah terjadi pada zaman Rasulullah dan sahabat disebut:

a. ‘Azl (coitus interupts) c. Suntik

b. Kondom d. Pil

3. Berikut ini jenis-jenis alat-alat kontrasepsi, kecuali:

a. Suntik c. DIU

b. IUD d. Kondom

4. Berikut ini alat kontrasepsi yang dibolehkan:

a. Vasektomi c. Ligasi Tuba

b. Tubektomi d. IUD

5. Berikut ini alat kontrasepsi yang diharamkan:

a. Vasektomi c. IUD

b. Suntik d. Kondom

6. Berikut ini dalil diharamkan KB adalah:

a. QS. al-An’am:151 c. QS. al-Nisa: 9

b. QS. al-An’am:31 d. QS. al-Nisa 151

7. Berikut ini dalil dibolehkan KB adalah:

a. QS. al-An’am:151 c. QS. al-Nisa:9

b. QS. al-An’am:31 d. QS. al-Nisa:151

8. Berikut ini singkatan dari IUD:

a. Intra Uterine Dego c. Intra Utilize Device

b. Intra Uterine Device d. Intra Utilize Dego

9. Berikut ini alasan diharamkan sterilisasi:

a. Pemandulan selama-lamanya c. Mengganggu jiwa

b. Sulit dilakukan d. Menyuburkan

10. Mengikat saluran kontong ovum, salah satu cara sterilisasi:

a. Vasektomi c. Ligasi Tuba

b. Tubektomi d. IUD

Kunci Jawaban Tes Formatif

1. D 6. A

2. A 7. C

3. C 8. B

4. D 9. A

5. A 10. C

Daftar Pustaka

Ahmad Ramli, Memelihara Kesehatan dalam Hukum Islam, Jakarta: Balai Pustaka, 1996

Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, Jakarta: Raja Grafindo, 1997

Mahjuddin, M.PdI, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus yang dihadapi Hukum Islam masa Kini, Kalam Mulia, Jakarta:2005.

Mahmud Syaltut, Al Fatawa, Pen, Daarul Qalam, Qaira, t-t

Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Gunung Agung, Jakarta, 1997

Yusuf Qardhawi, Hudal Islam Fataawa Mu’ashirah, Pen. Mathba’atus Salafiyah, Qairo, 1398/1978.

________, Halal dan Haram, Terj. Tim Kuadran, Bandung: Jabal, 2007.


Menikah Beda Agama

Secara etimologi, pernikahan berarti “persetubuhan” dan secara terminologi pernikahan adalah ‘akad yang dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari seorang wanita yang dilakukan dengan sengaja.” Pernikahan bertujuan menentramkan jiwa dan melestarikan keturunan sebagaimana firman Allah Swt:

والله جعل لكم من أنفسكم أزواجا وجعل لكم من أزواجكم بنين وحفدة ورزقكم من الطيبات

“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rezeki dari yang baik-baik.” (QS. Al-Nahl:72).

Pernikahan pada hakikatnya bersatunya dua manusia (lelaki dan perempuan) yang berbeda satu sama lain, tetapi dapat disatukan dengan ikatan keimanan. Oleh karena itu, Islam melarang umatnya untuk menikah dengan wanita-wanita musyrik atau pula sebaliknya, perempuan muslim menikah dengan laki-laki musyrik. Karena keimanan merupakan prinsip utama dalam perkawinan. Hukum menikah dengan non muslim akan dibahas dalam bab ini.

Berdasarkan hukum munakahat yang diajarkan Islam kepada para penganutnya ialah perkawinan (pernikahan) yang dibenarkan oleh Allah SWT adalah suatu perkawinan yang didasarkan pada satu akidah, di samping cinta dan ketulusan hati dari keduanya. Dengan landasan dan naungan keterpaduan itu, kehidupan suami-isteri akan tenteram, penuh rasa cinta dan kasih sayang. Keluarga mereka akan bahagia dan kelak memperoleh keturunan yang sejahtera lahir batin.


Berdasarkan ajaran Islam, deskripsi kehidupan suami-istri di atas akan dapat terwujud bila suami-istri memiliki keyakinan agama yang sama, sebab keduanya berpegang teguh untuk melaksanakan satu ajaran agama, yaitu Islam. Tetapi sebaliknya, jika suami-istri berbeda agama maka akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan keluarga, misalnya dalam hal pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan tatakrama makan/minum, pembinaan tradisi keagamaan, dan lain sebagainya.

Ketentuan di atas berdasarkan firman Allah Swt:

ولا تنكحوا المشركات حتى يؤمنّ ولأمة مؤمنة خير من مشركة ولو أعجبتكم ...

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS. Al-Baqarah:221).

Perselisihan diantara ulama berkaitan dengan hukum menikah dengan orang yang berbeda agama adalah dilatarbelakangi oleh masalah status orang yang beda agama apakah mereka termasuk kategori ahlil kitab atau bukan. Adapun ulama yang menghukumi boleh menikah dengan orang yang beda agama dikarenakan mereka dianggap sebagai ahlil kitab. Sedangkan ulama yang tidak dibolehkan menikah dengan orang yang beda agama dikarenakan mereka dianggap sebagai orang musyrik yang telah mempersekutukan sesuatu dengan Allah.

Dalil dibolehkan menikah dengan ahlil kitab didasarkan kepada firman Allah Swt:

والمحصنات من المؤمنات والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم ....

“Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum kamu.” (QS. Al-Maidah:5).

Selain berdasarkan ayat di atas, juga didasarkan Sunah Nabi Saw yang pernah kawin dengan wanita Ahlul Kitab, yakni Mariah al-Qibtiyah (Kristen). Demikian pula seorang sahabat Nabi yang bernama Hudzaifah bin al-Yaman pernah kawin dengan seorang wanita Yahudi. Sedang para sahabat tidak ada yang menentangnya.

Namun demikian ulama yang tidak membolehkan menikah dengan orang yang beda agama seperti Kristen, Budha dan lain-lain karena pada agama mereka itu mengandung unsur syirik yang cukup jelas, misalnya pada ajaran Kristen terdapat ajaran trinitas dan mengkultuskan Nabi Isa dan ibunya Maryam sebagai Tuhan.

Ulama yang membolehkan menikah dengan orang yang beda agama pun dibatasi hanya pada pria muslim. Adapun pada wanita muslimah tidak dibolehkan menikah dengan laki-laki yang berbeda agama, karena didasarkan kepada ijma’ para ulama. Karena dikhawatirkan wanita muslimah itu kehilangan kebebasan beragama dan menjalankan ajaran-ajaran agamanya, kemudian terseret kepada agama suaminya. Demikian pula anak-anak yang lahir dari hasil perkawinannya dikhawatirkan pula mereka akan mengikuti agama bapaknya, karena bapak sebagai kepala keluarga terhadap anak-anaknya melebihi ibunya.

Pandangan beberapa ulama menikah dengan beda agama

Beberapa pandangan ulama mengenai beberapa teks ayat atau hadis Nabi Muhammad saw adalah sebagai berikut:

  1. Wanita Islam dengan pria bukan Islam. Seluruh ulama sejak zaman sahabat hingga abad modern ini sepakat bahwa wanita Islam haram hukumnya kawin dengan pria bukan Islam. Dasar keharamannya termaktub di dalam Alquran Surah Al-Baqarah/2:221.

ولا تنكحوا المشركين حتى يؤمنوا ولعبد مؤمن خير من مشرك ولو أعجبكم

"Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu".

Firman Allah di atas menegaskan kepada para wali untuk tidak menikahkan wanita Islam dengan laki-laki bukan Islam. Keharamannya bersifat mutlak, artinya wanita Islam mutlak haram kawin dengan laki-laki selain Islam baik laki-laki musyrik atau Ahlulkitab. Dengan begitu dapat ditegaskan bahwa satu syarat sahnya perkawinan seorang wanita Islam ialah pasangannya harus pria Islam.

Tidak bolehnya wanita muslimah menikah dengan orang yang berbeda agama dikuatkan oleh firman Allah tentang perempuan-perempuan mukminah yang turut hijrah ke Madinah: “Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka”. (QS. al-Mumtahanah:10).

Dalam ayat ini tidak ada pengecualian untuk ahli kitab. Oleh karena itu hukumnya berlaku secara umum. Yang boleh, ialah laki-laki muslim kawin dengan perempuan Yahudi atau Nasrani. Bukan sebaliknya, sebab laki-laki adalah kepala rumah tangga dan mengurus serta yang bertanggung jawab terhadap perempuan.

  1. Pria Islam dengan wanita bukan Islam. Dalam kitabnya, Tafsir Ayat Al-Ahkam, Ali Al-Sayis menjelaskan makna muhshanat dalam ayat 5 Surat Al-Maidah,

والمحصنات من المؤمنات والمحصنات من الذين اوتوا الكتاب من قبلكم

"Wanita-wanita yang menjaga kehormatan (al-muhshanat) di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab" adalah wanita yang merdeka (bukan hamba sahaya).

Demikian pula Ali Al-Shabuni menjelaskan dalam Kitab Tafsir ayat Al-Ahkam-nya bahwa maksudnya adalah mengawini perempuan-perempuan merdeka dari perempuan-perempuan mukmin dan perempuan Ahlulkitab. Sedangkan mufassir lainnya menyatakan bahwa al-muhshanat adalah perempuan-perempuan yang memelihara kehormatan dirinya.

Adapun dasar keharaman mengawini seorang wanita Kitabiyah yang sudah menyimpang oleh karena kemusyrikan mereka. Firman Allah,

إتخذوا احبارهم ورهبانهم أربابا من دون الله والمسيح ابن مريم وما أمروا إلا ليعبدوا إلها واحدا لا إله إلا هو سبحانه عما يشركون

"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah, dan (juga mereka telah mempertuhankan) Al-Masih Putra Maryam padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa (Allah). Tidak ada Tuhan selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan". (Q.S. At-Taubah/9:31).

Dengan demikian, seorang wanita musyrik haram dikawini oleh seorang pria Islam.
Yusuf Al-Qardlawi berpendapat bahwa kebolehan nikah dengan Kitabiyah tidak mutlak, tetapi dengan ikatan-ikatan (quyud) yang wajib untuk diperhatikan, yaitu, (1) Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi. Tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama yang bukan agama samawi; (2) Wanita Kitabiyah yang muhshanah (memelihara kehormatan diri dari perbuatan zina); (3) Ia bukan Kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan dengan kaum Muslimin.

Untuk itulah perlu dibedakan antara kitabiyah dzimmiyah dan harbiyah. Dzimmiyah boleh, harbiyah dilarang dikawini; (4) Di balik perkawinan dengan Kitabiyah itu tidak akan terjadi fitnah, yaitu mafsadat atau kemurtadan. Makin besar kemungkinan terjadinya kemurtadan makin besar tingkat larangan dan keharamannya. Nabi Muhammad saw. pernah menyatakan, "La dharara wa la dhirara (tidak bahaya dan tidak membahayakan).

Selanjutnya Qardlawi menyatakan beberapa kemurtadan (keburukan) yang akan terjadi manakala kawin dengan wanita non-Muslim: (1) Akan berpengaruh kepada perimbangan antara wanita Islam dengan laki-laki Muslim. Akan lebih banyak wanita Islam yang tidak kawin dengan laki-laki Muslim yang belum kawin. Sementara itu poligami diperketat dan malah laki-laki yang kawin dengan wanita Nasrani sesuai dengan ajaran agamanya serta tidak mungkin menyetujui suaminya berpoligami; (2) Suami mungkin terpengaruh oleh agama istrinya. Demikian pula anak-anaknya. Bila hal ini terjadi maka fitnah benar-benar menjadi kenyataan, dan (3) Perkawinan dengan non-Muslimah akan menimbulkan kesulitan hubungan suami istri dan kelangsungan pendidikan anak-anaknya. Lebih-lebih jika laki-laki Muslim dan Kitabiyah berbeda tanah air, bahasa dan budaya. Misalnya, seorang Muslim Timur kawin dengan Kitabiyah Eropa atau Amerika.

Sedangkan dalam Alquran dan tafsirnya, kelompok penerjemah dan penafsir Departemen Agama Republik Indonesia menyampaikan suatu pandangan bahwa, "Dihalalkan bagi laki-laki mukmin mengawini perempuan Ahlulkitab dan tidak dihalalkan mengawini perempuan kafir lainnya. Dan tidak dihalalkan bagi perempuan-perempuan mukmin kawin dengan laki-laki Ahlulkitab dan laki-laki lainnya".

Dalam fatwa MUI pada tahun 1980 ditetapkan bahwa perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki ahlil kitab adalah haram hukumnya. Landasan atas penetapan fatwa ini adalah zhahir nash al-Quran. Sementara, tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadahnya lebih besar daripada maslahahnya, Majlis Ulama Indonesia memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram.

Dengan demikian, pengharaman perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab didasarkan pada prinsip sadd adz dzariah, mencegah lahirnya mafasadah yang lebih besar; mengingat sekalipun ada mashlahah yang akan didapat, namun mafasadahnya lebih besar.

Kemudian pada Munas VII pada 28 Juli 2005 menetapkan fatwa tentang perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Demikian juga, perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah.

Nikah Beda Agama dalam UU Perkawinan

Pasal 2 (1) UUP berbunyi, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Di dalam penjelasan UUP itu dinyatakan bahwa, "Dengan perumusan Pasal 2 (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945". Prof. Dr. Hazairin, S.H. secara tegas menafsirkan pasal 2 (1), "Bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum-hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang Kristen dan bagi orang Hindu atau Hindu-Buddha seperti dijumpai di Indonesia".


Perkawinan campuran karena berbeda agama selalu hangat dan pelik untuk dibicarakan karena itu berhubungan dengan akidah dan hukum. Dalam bukunya, Rusli (1984) menyatakan bahwa "perkawinan antaragama tersebut merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita yang berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing, dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

Oleh karena itu, di kalangan para ahli dan praktisi hukum, kita jumpai ada tiga mazhab yang berbeda dalam memandang Undang-undang Perkawinan bila dihubungkan dengan perkawinan antardua orang yang berbeda agama. Mazhab pertama mengatakan bahwa perkawinan antaragama merupakan pelanggaran terhadap undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf (f), di mana pasal tersebut berbunyi, "Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin".


Mazhab kedua berpendapat bahwa perkawinan antaragama adalah sah dan dapat dilangsungkan karena telah tercakup dalam perkawinan campuran. Sehingga pendukung mazhab ini berargumen bahwa Pasal 57 yang mengatur tentang perkawinan campuran menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Karena itu, pasal ini tidak saja mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan melainkan juga antara dua orang yang berbeda agama. Dan untuk pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh Pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran
.


Sedangkan mazhab ketiga menyatakan bahwa perkawinan antaragama sama sekali tidak diatur dalam UUP nomor 1 tahun 1974 dengan anggapan bahwa peraturan-peraturan lama sepanjang Undang-undang itu belum mengatur masih dapat diberlakukan. Dengan demikian untuk persoalan perkawinan antaragama haruslah merujuk kepada Peraturan Perkawinan Campuran.


Dari ketiga mazhab di atas maka dapat disimpulkan bahwa sebaiknya penentuan boleh tidaknya perkawinan antarorang yang berbeda agama sehingga lebih baik, aman dan tidak menimbulkan masalah haruslah dikembalikan pada hukum agama.
Artinya, bila hukum agama menyatakan sebuah perkawinan dikatakan boleh atau tidak, maka seharusnya hukum negara mengikutinya. Jadi, untuk perkawinan antaragama, penentuan boleh tidaknya bergantung pada hukum agama dan seluruh pemeluk agamanya wajib menaatinya.


Merujuk pada Undang-undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 Pasal 2 (1) jo. 8 (f) terhadap beberapa hal di atas, maka cenderung menyerahkan sepenuhnya kepada hukum agama masing-masing pihak untuk menentukan diperbolehkan atau dilarangnya perkawinan antaragama.
Untuk itulah maka agama-agama selain Islam yang diakui eksistensinya di Indonesia memiliki pandangan yang sedikit berbeda.
Oleh karena, (1) Agama Katholik pada prinsipnya melarang dilakukannya perkawinan antaragama, kecuali dalam hal-hal tertentu Uskup dapat memberikan dispensasi untuk melakukan perkawinan antaragama; (2) Agama Protestan membolehkan dilakukannya perkawinan antaragama dengan syarat bahwa pihak yang bukan Protestan harus membuat surat pernyataan tidak berkeberatan perkawinannya dilangsungkan di gereja Protestan, dan (3) Agama Hindu dan Buddha melarang dilakukannya perkawinan antaragama.

Senada dengan ungkapan di atas, Daud Ali berpendapat berkaitan dengan pernikahan beda agama, diantaranya:

1. Perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama dengan berbagai cara pengungkapannya, sesungguhnya tidaklah sah menurut agama yang diakui keberadaannya dalam Negara Republik Indonesia. Dan, karena sahnya perkawinan didasarkan pada hukum agama, maka perkawinan yang tidak sah menurut hukum agama, tidak sah pula menurut Undang-undang Perkawinan Indonesia.

2. Perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama adalah penyimpangan dari pola umum perkawinan yang benar menurut hukum agama dan Undang-undang Perkawinan yang berlaku di tanah air kita. Untuk penyimpangan ini, kendatipun merupakan kenyataan dalam masyarakat, tidak perlu dibuat peraturan tersendiri, tidak perlu dilindungi oleh negara. Memberi perlindungan hukum pada warga negara yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila sebagai cita hukum bangsa dan kaidah fundamental negara serta hukum agama yang berlaku di Indonesia, pada pendapat saya selain tidak konstitusional, juga tidak legal.

Latihan

Untuk memantapkan pemahaman Anda terhadap materi ini, jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:

1. Jelaskan hukum menikah dengan non muslim?

2. Jelaskan pandangan ulama tentang menikah dengan non muslim?

3. Jelaskan Undang-undang perkawinan tentang menikah dengan orang beda agama?

4. Jelaskan fatwa MUI tentang menikah beda agama?

5. Jelaskan mudharat (bahaya) yang ditimbulkan menikah dengan orang beda agama?

Rangkuman

1. Pernikahan pada hakikatnya bersatunya dua manusia (lelaki dan perempuan) yang berbeda satu sama lain, tetapi dapat disatukan dengan ikatan keimanan. Oleh karena itu, Islam melarang umatnya untuk menikah dengan wanita-wanita musyrik atau pula sebaliknya, perempuan muslim menikah dengan laki-laki musyrik. Karena keimanan merupakan prinsip utama dalam perkawinan.

2. Perselisihan diantara ulama tentang pernikahan beda agama dilatarbelakangi oleh ayat al-Quran (QS.al-Maidah:5) yang membolehkan menikah dengan ahlil kitab, dan larangan al-Quran (QS. al-Baqarah:221) tentang menikahi orang-orang musyrik.

3. Menurut Yusuf Al-Qardlawi bahwa kebolehan nikah dengan ahli kitab berdasarkan QS. al-Maidah:5) tidak mutlak, tetapi dengan ikatan-ikatan (quyud) yang wajib untuk diperhatikan, yaitu, (1) ahli kitab itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi. Tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama yang bukan agama samawi; (2) ahli kitab itu adalah wanita Kitabiyah yang muhshanah (memelihara kehormatan diri dari perbuatan zina); (3) Ia bukan Kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan dengan kaum Muslimin. Dengan demikian, menikah dengan orang yang beda agama seperti Kristen dll tidak dibolehkan karena agama mereka tidak lagi termasuk ajaran samawi.

4. MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa laki-laki muslim tidak dibolehkan menikah dengan wanita yang beda agama berdasarkan mafsadatnya lebih besar daripada maslahatnya.

5. Pasal 2 (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Di dalam penjelasan UUP itu dinyatakan bahwa, "Dengan perumusan Pasal 2 (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945". Berdasarkan undang-undang tersebut perkawinan dianggap sah berdasarkan agama dan kepercayaannya.

Tes Formatif

Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan benar dan tepat

1. Hukum menikah dengan ahlil kitab adalah:

a. Sunah c. Mubah

b. Makruh d. Haram

2. Hukum menikah dengan orang musyrik adalah:

a. Sunah c. Mubah

b. Makruh d. Haram

3. Fatwa MUI bahwa hukum laki-laki muslim menikah dengan wanita non muslim adalah:

a. Sunah c. Mubah

b. Makruh d. Haram

4. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan termaktub dalam Undang-undang Perkawinan Pasal:

a. Pasal 1 ayat 1 c. Pasal 2 ayat 1

b. Pasal 1 ayat 2 d. Pasal 2 ayat 2

5. Dalil dibolehkan menikah dengan ahlil kitab adalah:

a. QS. al-Baqarah:221 c. Al-Maidah:15

b. QS. al-Baqarah:5 d. Al-Maidah:5

6. Dalil diharamkan menikah dengan orang musyrik adalah:

a. QS. al-Baqarah:221 c. Al-Maidah:15

b. QS. al-Baqarah:5 d. Al-Maidah:5

7. Berikut ini pengaruh yang akan terjadi jika dilangsungkan pernikahan beda agama:

a. Perselingkuhan c. kebahagiaan

b. Status agama anak mereka d. kedamaian

8. Berikut ini ulama yang memberikan batasan-batasan kebolehan menikah dengan ahli kitab:

a. Imam Mahalli c. Yusuf Qardhawi

b. Imam Mahdi d. Mahmud Syaltut

9. Berikut ini batasan-batasan dibolehkan menikah dengan ahli kitab: kecuali,

a. Ahli kitab berpegang ajaran samawi c. Bukan pezina

b. Ahli kitab orang yang dikenal d. Bukan orang yang memerangi Islam

10. Berikut ini alasan MUI mengeluarkan fatwa haram menikah beda agama:

a. Lebih banyak mafsadat c. Banyak kebimbangan

b. Banyak manfaatnya d. Banyak orang yang melakukannya


Jawaban Tes Formatif

1. C 6. A

2. D 7. B

3. D 8. C

4. C 9. B

5. D 10. A

Daftar Pustaka

Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Darul Fikri, Beirut, Jilid 1 dan 2.

Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta: elSAS, 2008.

Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Darul Fikri, Beirut, jilid 2

Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram, Terj. Tim Kuadran, Bandung: Jabal, 2007.