Senin, 23 Maret 2009

masalah asuransi

Asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin) untuk memberikan kepada nasabah/klien-nya (muamman) sejumlah harta sebagai konsekuensi dari pada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, Gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun ketika terjadi bencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan dari klien/nasabah tersebut (muamman) kepada perusahaan asuransi (muammin) di saat hidupnya.

Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi. Ada beberapa unsur dalam asuransi, yaitu: tertanggung, yaitu anda atau badan hukum yang memiliki atau berkepentingan atas harta benda. Dan penanggung, dalam hal ini Perusahaan Asuransi, merupakan pihak yang menerima premi asuransi dari tertanggung dan menanggung risiko atas kerugian/musibah yang menimpa harta benda yang diasuransikan.

Konsep dasar asuransi yang dibenarkan syariah adalah tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (al birri wat taqwa). Konsep tersebut sebagai landasan yang diterapkan dalam setiap perjanjian transaksi bisnis dalam wujud tolong menolong (akad takafuli) yang menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar yang saling menanggung satu sama lain di dalam menghadapi resiko, yang kita kenal sebagai sharing of risk, sebagaimana firman Allah SWT yang memerintahkan kepada kita untuk taawun (tolong menolong) yang berbentuk al birri wat taqwa (kebaikan dan ketakwaan) dan melarang taawun dalam bentuk al itsmi wal udwan (dosa dan permusuhan).

Adapun manfaat dari asuransi adalah sebagai berikut:

1. Tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan di antara anggota.

2. Implementasi dari anjuran Rasulullah SAW agar umat Islam salimg tolong menolong.

3. Jauh dari bentuk-bentuk muamalah yang dilarang syariat.

4. Secara umum dapat memberikan perlindungan-perlindungan dari resiko kerugian yang diderita satu pihak.

5. Juga meningkatkan efesiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu, dan biaya.

6. Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu, dan tidak perlu mengganti/ membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tertentu dan tidak pasti.

7. Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar pada pihak asuransi akan dikembalikan saat terjadi peristiwa atau berhentinya akad.

8. Menutup Loss of corning power seseorang atau badan usaha pada saat ia tidak dapat berfungsi(bekerja).Perbandingan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional.

Hukum Asuransi

Para ulama dan cendekiawan muslim terbagi kepada empat pandangan dalam berijtihad menentukan hukum asuransi:

  1. Mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya sekarang ini termasuk asuransi jiwa. Kelompok ini didukung oleh Sayid Sabiq, Abdullah al-Qalqili Mufti Yordania, Muhammad Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhit al-Muthi’. Alasan-alasan yang mereka gunakan adalah:

a. Asuransi pada hakikatnya sama atau serupa dengan judi

b. Mengandung unsur tidak jelas dan tidak pasti (uncertainty)

c. Mengandung unsur riba/rente

d. Mengandung unsur eksploitasi, karena pemegang polis kalau tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, bisa hilang atau dikurangi uang premi yang telah dibayarkan.

e. Premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam praktek riba (kredit bunga).

f. Asuransi termasuk akad sharfi, yaitu jual beli atau tukar menukar mata uang yang tidak dengan tunai (cash and cary)

g. Hidup dan mati manusia dijadikan obyek bisnis, yang berarti mendahului takdir Tuhan Yang Maha Kuasa).

  1. Membolehkan semua asuransi yang dalam prakteknya sekarang ini. Pendapat kedua ini didukung oleh Abdul Wahab Khallaf, Mustafa Ahmad Zarqa, Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syariah Universitas Syiria, Muhammad Yusuf Musa, Guru Besar Hukum Islam pada Universitas Cairo Mesir, dan Abdurrahman Isa, pengarang al-Muamalah al-Haditsahh wa Ahkamuha. Adapun alasan mereka membolehkan asuransi adalah:

a. Tidak ada nash al-Quran dan Hadits yang melarang asuransi.

b. Ada kesepakatan/kerelaan kedua belah pihak.

c. Saling menguntungkan kedua belah pihak.

d. Mengandung kepentingan umum (maslahat ‘amah), sebab premi-premi yang terkumpul bisa diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan untuk pembangunan.

e. Asuransi termasuk akad mudharabah, artinya akad kerja sama bagi hasil antara pemegang polis (pemilik modal) dengan pihak perusahaan asuransi yang memutar modal atas dasar profit and loss sharing.

f. Asuransi termasuk koperasi (syirkah ta’awuniyah)

g. Diqiyaskan (analogi) dengan sistem pensiun, seperti Taspen.

  1. Membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang semata-mata bersifat komersial. Pendapat ketiga ini didukung oleh Muhammad Abu Zahrah, Guru Besar Hukum Islam pada Universitas Cairo Mesir.
  2. Menganggap syubhat. Karena tidak ada dalil-dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan atau pun menghalalkan asuransi.

Dari keempat hukum asuransi di atas, ada beberapa faktor yang mempengaruhi asuransi dipandang sebagai hukum mubah karena segala unsur atau transaksi dalam asuransi sesuai dengan syariah. Sistem asuransi inilah yang disebut dengan asuransi syaria’h.

Suatu asuransi diperbolehkan secara syar’i, jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman,” Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”

2. Asuransi syariah tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.

3. Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.

4. Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.

5. Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.

6. Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.

Perbedaan Asuransi Syariah dengan Asuransi Konvensional

Beberapa perbedaan asuransi syariah dengan asuransi konvensional, di antaranya adalah sebagai berikut:

Akad (Perjanjian)

Setiap perjanjian transaksi bisnis di antara pihak-pihak yang melakukannya harus jelas secara hukum ataupun non-hukum untuk mempermudah jalannya kegiatan bisnis tersebut saat ini dan masa mendatang. Akad dalam praktek muamalah menjadi dasar yang menentukan sah atau tidaknya suatu kegiatan transaksi secara syariah. Hal tersebut menjadi sangat menentukan di dalam praktek asuransi syariah. Akad antara perusahaan dengan peserta harus jelas, menggunakan akad jual beli (tadabuli) atau tolong menolong (takaful).

Akad pada asuransi konvensional didasarkan pada akad tadabuli atau perjanjian jual beli. Syarat sahnya suatu perjanjian jual beli didasarkan atas adanya penjual, pembeli, harga, dan barang yang diperjual-belikan. Sementara itu di dalam perjanjian yang diterapkan dalam asuransi konvensional hanya memenuhi persyaratan adanya penjual, pembeli dan barang yang diperjual-belikan. Sedangkan untuk harga tidak dapat dijelaskan secara kuantitas, berapa besar premi yang harus dibayarkan oleh peserta asuransi utnuk mendapatkan sejumlah uang pertanggungan. Karena hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal. Perusahaan akan membayarkan uang pertanggunggan sesuai dengan perjanjian, akan tetapi jumlah premi yang akan disetorkan oleh peserta tidak jelas tergantung usia. Jika peserta dipanjangkan usia maka perusahaan akan untung namun apabila peserta baru sekali membayar ditakdirkan meninggal maka perusahaan akan rugi. Dengan demikian menurut pandangan syariah terjadi cacat karena ketidakjelasan (gharar) dalam hal berapa besar yang akan dibayarkan oleh pemegang polis (pada produk saving) atau berapa besar yang akan diterima pemegang polis (pada produk non-saving).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seorang ulama salaf ternama dalam kitabnya Majmu Fatwa menyatakan bahwa akad dalam Islam dibangun atas dasar mewujudkan keadilan dan menjauhkan penganiayaan. Harta seorang muslim yang lain tidak halal, kecuali dipindahkan haknya kepada yang disukainya. Keadilan dapat diketahui dengan akalnya, seperti pembeli wajib menyatakan harganya dan penjual menyerahkan barang jualannya kepada pembeli. Dilarang menipu, berkhianat, dan jika berhutang harus dilunasi.

Gharar (Ketidakjelasan)

Definisi gharar menurut Madzhab Syafii adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan manusia dan akibat yang paling ditakuti.

Gharar/ketidakjelasan itu terjadi pada asuransi konvensional, dikarenakan tidak adanya batas waktu pembayaran premi yang didasarkan atas usia tertanggung, sementara kita sepakat bahwa usia seseorang berada di tangan Yang Mahakuasa. Jika baru sekali seorang tertanggung membayar premi ditakdirkan meninggal, perusahaan akan rugi sementara pihak tertanggung merasa untung secara materi. Jika tertanggung dipanjangkan usianya, perusahaan akan untung dan tertanggung merasa rugi secara financial. Dengan kata lain kedua belah pihak tidak mengetahui seberapa lama masing-masing pihak menjalankan transaksi tersebut. Ketidakjelasan jangka waktu pembayaran dan jumlah pembayaran mengakibatkan ketidaklengkapan suatu rukun akad, yang kita kenal sebagai gharar. Para ulama berpendapat bahwa perjanjian jual beli/akad tadabuli tersebut cacat secara hukum.

Pada asuransi syariah akad tadabuli diganti dengan akad takafuli, yaitu suatu niat tolong-menolong sesama peserta apabila ada yang ditakdirkan mendapat musibah. Mekanisme ini oleh para ulama dianggap paling selamat, karena kita menghindari larangan Allah dalam praktik muamalah yang gharar.

Pada akad asuransi konvensional dana peserta menjadi milik perusahaan asuransi (transfer of fund). Sedangkan dalam asuransi syariah, dana yang terkumpul adalah milik peserta (shahibul mal) dan perusahaan asuransi syariah (mudharib) tidak bisa mengklaim menjadi milik perusahaan.

Tabarru dan Tabungan

Tabarru berasal dari kata tabarraa-yatabarra-tabarrawan, yang artinya sumbangan atau derma. Orang yang menyumbang disebut mutabarri (dermawan). Niat bertabbaru bermaksud memberikan dana kebajikan secara ikhlas untuk tujuan saling membantu satu sama lain sesama peserta asuransi syariah, ketika di antaranya ada yang mendapat musibah. Oleh karena itu dana tabarru disimpan dalam rekening khusus. Apabila ada yang tertimpa musibah, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening tabarru yang sudah diniatkan oleh sesama peserta untuk saling menolong.

Menyisihkan harta untuk tujuan membantu orang yang terkena musibah sangat dianjurkan dalam agama Islam, dan akan mendapat balasan yang sangat besar di hadapan Allah, sebagaimana digambarkan dalam hadist Nabi SAW,"Barang siapa memenuhi hajat saudaranya maka Allah akan memenuhi hajatnya."(HR Bukhari Muslim dan Abu Daud).

Untuk produk asuransi jiwa syariah yang mengandung unsur saving maka dana yang dititipkan oleh peserta (premi) selain terdiri dari unsur dana tabarru terdapat pula unsur dana tabungan yang digunakan sebagai dana investasi oleh perusahaan. Sementara investasi pada asuransi kerugian syariah menggunakan dana tabarru karena tidak ada unsur saving. Hasil dari investasi akan dibagikan kepada peserta sesuai dengan akad awal. Jika peserta mengundurkan diri maka dana tabungan beserta hasilnya akan dikembalikan kepada peserta secara penuh.

Maisir (Judi)

Allah SWT berfirman dalam surat al-Maidah ayat 90, "Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan."

Prof. Mustafa Ahmad Zarqa berkata bahwa dalam asuransi konvensional terdapat unsur gharar yang pada gilirannya menimbulkan qimar. Sedangkan al qimar sama dengan al maisir. Muhammad Fadli Yusuf menjelaskan unsur maisir dalam asuransi konvensional karena adanya unsur gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa. Apabila pemegang polis asuransi jiwa meninggal dunia sebelum periode akhir polis asuransinya dan telah membayar preminya sebagian, maka ahli waris akan menerima sejumlah uang tertentu. Pemegang polis tidak mengetahui dari mana dan bagaimana cara perusahaan asuransi konvensional membayarkan uang pertanggungannya. Hal ini dipandang karena keuntungan yang diperoleh berasal dari keberanian mengambil risiko oleh perusahaan yang bersangkutan. Muhammad Fadli Yusuf mengatakan, tetapi apabila pemegang polis mengambil asuransi itu tidak dapat disebut judi. Yang boleh disebut judi jika perusahaan asuransi mengandalkan banyak/sedikitnya klaim yang dibayar. Sebab keuntungan perusahaan asuransi sangat dipengaruhi oleh banyak /sedikitnya klaim yang dibayarkannya.

Riba

Dalam hal riba, semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya dengan bunga, yang berarti selalu melibatkan diri dalam riba. Hal demikian juga dilakukan saat perhitungan kepada peserta, dilakukan dengan menghitung keuntungan di depan. Investasi asuransi konvensional mengacu pada peraturan pemerintah yaitu investasi wajib dilakukan pada jenis investasi yang aman dan menguntungkan serta memiliki likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi. Begitu pula dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.6/2003 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Semua jenis investasi yang diatur dalam peraturan pemerintah dan KMK dilakukan berdasarkan sistem bunga.

Asuransi syariah menyimpan dananya di bank yang berdasarkan syariat Islam dengan sistem mudharabah. Untuk berbagai bentuk investasi lainnya didasarkan atas petunjuk Dewan Pengawas Syariah. Allah SWT berfirman:

يا ايها الذين أمنوا لاتأكلوا الربا أضعافا مضاعفا واتقوا الله لعلكم تفلحون

"Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba yang memang riba itu bersifat berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan." (QS. Ali Imran:130)

Kemudian diperkuat dengan Hadist, "Rasulullah mengutuk pemakaian riba, pemberi makan riba, penulisnya dan saksinya seraya bersabda kepada mereka semua sama."(HR Muslim)

Dana Hangus

Ketidakadilan yang terjadi pada asuransi konvensional ketika seorang peserta karena suatu sebab tertentu terpaksa mengundurkan diri sebelum masa reversing period. Sementara ia telah beberapa kali membayar premi atau telah membayar sejumlah uang premi. Karena kondisi tersebut maka dana yang telah dibayarkan tersebut menjadi hangus. Demikian juga pada asuransi non-saving atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi yang dibayarkan akan hangus dan menjadi milik perusahaan.

Kebijakan dana hangus yang diterapkan oleh asuransi konvensional akan menimbulkan ketidakadilan dan merugikan peserta asuransi terutama bagi mereka yang tidak mampu melanjutkan karena suatu hal. Di satu sisi peserta tidak punya dana untuk melanjutkan, sedangkan jika ia tidak melanjutkan dana yang sudah masuk akan hangus. Kondisi ini mengakibatkan posisi yang dizalimi. Prinsip muamalah melarang kita saling menzalimi, laa dharaa wala dhirara ( tidak ada yang merugikan dan dirugikan).

Asuransi syariah dalam mekanismenya tidak mengenal dana hangus, karena nilai tunai telah diberlakukan sejak awal peserta masuk asuransi. Bagi peserta yang baru masuk karena satu dan lain hal mengundurkan diri maka dana/premi yang sebelumnya dimasukkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil dana yang diniatkan sebagai dana tabarru (dana kebajikan). Hal yang sama berlaku pula pada asuransi kerugian. Jika selama dan selesai masa kontrak tidak terjadi klaim, maka asuransi syariah akan membagikan sebagian dana/premi tersebut dengan pola bagi hasil 60:40 atau 70:30 sesuai kesepakatan di awal perjanjian (akad).

Jadi premi yang dibayarkan pada awal tahun masih dapat dikembalikan sebagian ke peserta (tidak hangus). Jumlahnya sangat tergantung dari hasil investasinya.

Konsep Taawun Dalam Asuransi Syariah

Sebagian para ahli syariah menyamakan sistem asuransi syariah dengan sistem aqilah pada zaman Rasulullah SAW. Dr. Satria Effendi M.Zein dalam makalahnya mendefinisikan takaful dengan at takmin, at taawun atau at takaful (asuransi bersifat tolong menolong), yang dikelola oleh suatu badan, dan terjadi kesepakatan dari anggota untuk bersama-sama memikul suatu kerugian atau penderitaan yang mungkin terjadi pada anggotanya. Untuk kepentingan itu masing-masing anggota membayar iuran berkala (premi). Dana yang terkumpul akan terus dikembangkan, sehingga hasilnya dapat dipergunakan untuk kepentingan di atas, bukan untuk kepentingan badan pengelola (asuransi syariah). Dengan demikian badan tersebut tidak dengan sengaja mengeruk keuntungan untuk dirinya sendiri. Disini sifat yang paling menonjol adalah tolong-menolong seperti yang diajarkan Islam.

Dewan Pengawas Syariah

Pada asuransi syariah seluruh aktivitas kegiatannya diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang merupakan bagian dari Dewan Syariah Nasional (DSN), baik dari segi operational perusahaan, investasi maupun SDM. Kedudukan DPS dalam Struktur oraganisasi perusahaan setara dengan dewan komisaris.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan perbedaan asuransi syariah dan konvensional sebagai berikut:

1. Adanya Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.

2. Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Yaitu nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan).

3. Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharobah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.

4. Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.

5. Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.

6. Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.

Latihan

Untuk memantapkan pemahaman Anda terhadap materi ini, jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:

1. Jelaskan pengertian asuransi?

2. Jelaskan perbedaan ulama tentang hukum asuransi?

3. Jelaskan perbedaan asuransi konvensional dan asuransi syariah?

4. Tuliskan ayat al-Quran tentang keharaman memakan riba?

5. Jelaskan istilah ta’awun dan gharar?

Rangkuman

1. Asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin) untuk memberikan kepada nasabah/klien-nya (muamman) sejumlah harta sebagai konsekuensi dari pada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, Gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun ketika terjadi bencana maupun kecelakaan.

2. Hukum asuransi dalam pandangan ulama terbagi kepada empat macam, pertama hukum haram, dengan alasan karena mengandung gharar (tipuan), kedua, hukum boleh karena tidak ada dalil yang pasti dalam nashnya. Ketiga, membolehkan pada asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial. Dan keempat, hukum syubhat.

3. Asuransi diperbolehkan secara syar’i, jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam, karena itu keberadaan asuransi syariah diperlukan adanya.

4. Perbedaan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional adalah pada asuransi syariah bersifat takafuli (tolong-menolong) sedangkan asuransi konvensional bersifat tadabbul (jualbeli). Pada asuransi syariah didasarkan pada sistem mudharabah (bagi hasil) dan asuransi konvensional didasarkan pada sistem riba. Dll.

Tes Formatif

Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan baik dan benar.

1. Akad antara pihak tertanggung dan penanggung dan adanya dana diambil dari iuran premi, disebut:

a. Asuransi c. Tabarru’

b. Ba’i d. Takaful

2. Memberikan dana kebajikan secara ikhlas untuk tujuan saling membantu satu sama lain sesama peserta asuransi syariah, ketika di antaranya ada yang mendapat musibah, disebut:

a. Asuransi c. Tabarru’

b. Ba’i d. Takaful

3. Asuransi yang dibenarkan secara syariat adalah, kecuali

a. Takaful c. Adanya dewan syariah

b. Mudharabah d. Riba

4. Berikut ini manfaat dari akad asuransi syariah

a. Penipuan c. Permusuhan

b. Mempererat persaudaraan d. Tabarru’

5. Berikut ini ulama yang mengharamkan asuransi:

a. Imam al-Ghazali c. Abdul Wahab Khalaf

b. Sayid Sabiq d. Muhammad Abu Zahrah

6. Berikut ini ulama yang menganggap asuransi boleh yang bersifat sosial dan haram yang bersifat komersial:

a. Imam al-Ghazali c. Abdul Wahab Khallaf

b. Sayid Sabiq d. Muhammad Abu Zahrah

7. Berikut ini ulama yang membolehkan asuransi:

a. Imam Ghazali c. Abdul Wahab Khalaf

b. Sayid Sabiq d. Muhammad Abu Zahrah

8. Berikut ini alasan diharamkannya asuransi, kecuali:

a. Serupa dengan judi c. Mudharabah

b. Ada unsur ketidak pastian d. Mengandung riba

9. Berikut ini alasan dibolehkannya asuransi:

a. Serupa dengan judi c. Syirkah ta’awuniah

b. Ada unsur ketidakpastian d. Merugikan

10. Berikut ini yang membedakan asuransi syariah dengan asuransi konvensional,

a. Prinsip ta’awun c. Penipuan

b. Ada unsur ketidakpastian d. Riba


Kunci Jawaban Tes Formatif

1. A 6. D

2. C 7. C

3. D 8. C

4. B 9. C

5. B 10. A

Daftar Pustaka

Abdurrahman Isa, Al-Mualatul Haditsah wa Ahkamuha, Mesir, Mukhaimir, hlm 83-91.

Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, al-Haditsah, Jakarta:Grafindo, 1997

Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Gunung Agung, Jakarta 1997.

Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Kairo, Darul Fikar, 1981

Tidak ada komentar:

Posting Komentar