Senin, 23 Maret 2009

Masalah Euthanasia

Kehidupan dan kematian adalah hak perogatif Allah Swt, manusia tidak ada hak untuk menentukan kematian dirinya sendiri, karena jiwa ini milik Allah dan manusia berkewajiban menjaga dan melindungi dari segala kerusakan dan kebinasaan. Oleh karena itu, Allah mengharamkan untuk membunuh dirinya sendiri. Sebagaimana firman Allah Swt:

ولا تقتلوا انفسكم إنّ الله كان بكم رحيما ومن يفعل ذلك عدوانا وظلما فسوف نصليه نارا وكان ذلك على الله يسيرا

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. al-Nisa: 29-30)

Pengertian Euthanasia

Menurut ensiklopedia Indonesia, bahwah euthanasi berasal dari Yunani eu yang berarti “baik” dan thanatos yang berarti kematian (Utomo, 2003:177). Dalam istilah Arab dikenal dengan qath’u ar-rahma atau taysir al-maut. Kata tersebut dikenal dalam kedokteran adalah tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Dalam kata lain juga tindakan mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya. (Hasan, 1995:145).

Pembagian Euthanasi

Dalam praktek kedoketran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasi aktif dan pasif.

  1. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasa dikemukan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah.

Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178).

  1. Euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.

Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya (Utomo, 2003:177).

Sementara itu, secara konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia, pertama, voluntary euthanasia yaitu euthanasia yang yang dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri karena penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan tidak sanggup menahan rasa sakit yang diakibatkannya; kedua, non voluntary euthanasia yaitu orang lain atau bukan pasien (keluarga pasien) yang tidak tega melihat keadaan pasien yang sangat menderita; dan ketiga, involuntary euthanasia yaitu merupakan pengakhiran kehidupan tanpa persetujuan pasien atau keluarga pasien)

Hukum Euthanasi

Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.

Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT

ولا تقتلوا النفس التي حرّم الله إلاّ بالحقّ

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)

وما كان لمؤمن أن يقتل مؤمنا إلا خضئا

“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)

ولا تقتلوا أنفسكم إنّ الله كان بكم رحيما

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).

Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.

Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :

يا ايها الذين أمنوا كتب عليكم القصاص فى القتلى

“Hai orang-orang beriman telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 177)

Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.

فمن عفي له من أخيه شيء فاتباع با لمعروف وأداء اليه بإحسان

Firman Allah SWT : “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 177)

Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).

Dengan demikian euthanasia tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,

“Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).

Keharaman eutahanasia aktif telah diperkuat oleh sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

“Tidak ada diantara orang-orang sebelum kamu seorang lelaki yang mendapat luka, lalu keluh kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong tangannya dengan pisau itu. Kemudian tidak berhenti-henti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah bersabda, “Hambaku telah menyegerakan kematiannya sebelum aku mematikan. Aku mengharamkan surga untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Keterangan hadits di atas menjelaskan bahwa manusia dituntut untuk melakukan segala usaha penyembuhan dari segala penyakit yang dideritanya. Karena Allah menciptakan penyakit, Dia pula yang menciptakan obatnya. Maka berobatlah kalian” (HR. Ahmad dari Anas R.A).

Sedangkan hukum euthanasia pasif, yang dalam kasusnya adalah menghentikan pengobatan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien.

Berkaitan dengan kasus tersebut, para ulama berbeda pendapat tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).

Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:6) bahwa hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah).

Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :

“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)

Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :

الأصل فى الأمر للطلب

“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani, 1953)

Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.

Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata, “Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)


Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).


Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya
.

Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib.

Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetapi tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.


Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).


Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).

Sebagaimana juga termuat dalam pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan:

“Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”

Bertolak dari ketentuan pasal 344 KUHP tersebut, bahwa pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya dan dikualifikasi sebagai tindak pidana yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan tindak pidana.

Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus permintaan tindakan medis untuk mengakhiri kehidupan yang pernah muncul di Indonesia (kasus Hasan Kusumua yang mengajukan suntik mati untuk isterinya, Ny. Agian dan terakhir kasus Rudi Hartono yang mengajukan suntik mati untuk isterinya, Siti Zulaeha perlu dicermati secara hukum. Kedua kasus ini secara konseptual dikualifikasi sebagai non voluntary euthanasia, tetapi secara yuridis formal (dalam KUHP) dua kasus ini tidak bisa dikualifikasi sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP. Secara yuridis formal kualifikasi (yang paling mungkin) untuk kedua kasus ini adalah pembunuhan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP atau pembunuhan berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP.

Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas menyatakan: “Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP menyatakan bahwa:

“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.”

Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap “penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum

Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya pasal 304 dinyatakan bahwa:

“Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.”

Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) dinyatakan “Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun.”

Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebbagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia. (http://tittoarema.blogspot.com/2006.)

Euthanasia dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia

Kode etik kedokteran dalam pasal 2 dijelaskan bahwa “seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan profesinya harus sesuai dengan ilmu kedokteran, hukum dan agama. Dalam pasal 7 juga menjelaskan bahwa setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaan manusia. Jadi dalam menjalankan profesinya seorang dokter tidak boleh melakukan: Menggugurkan kandungan, mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia),

Latihan

Untuk memantapkan pemahaman Anda terhadap materi ini, jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:

1. Jelaskan pengertian euthanasia?

2. Jelaskan hukum Islam tentang euthanasia pasif?

3. Jelaskan hukum Islam tentang euthanasia aktif?

4. Jelaskan euthanasia dalam kode etik kedokteran?

5. Jelaskan pendapat ulama tentang hukum berobat?

Rangkuman

1. Euthanasi berasal dari Yunani eu yang berarti “baik” dan thanatos yang berarti kematian. Dalam istilah Arab dikenal dengan qath’u ar-rahma atau taysir al-maut. Kata tersebut dikenal dalam kedokteran adalah tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Dalam kata lain juga yaitu tindakan mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.

2. Dalam praktek kedoketran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasi aktif dan pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasa dikemukan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah. Dan Euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.

3. Secara konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia, pertama, voluntary euthanasia yaitu euthanasia yang yang dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri karena penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan tidak sanggup menahan rasa sakit yang diakibatkannya; kedua, non voluntary euthanasia yaitu orang lain atau bukan pasien (keluarga pasien) yang tidak tega melihat keadaan pasien yang sangat menderita; dan ketiga, involuntary euthanasia yaitu merupakan pengakhiran kehidupan tanpa persetujuan pasien atau keluarga pasien)

4. Haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar. Sedangkan hukum euthanasia pasif berkaitan dengan hukum berobat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jika hukum berobat wajib, maka menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) adalah haram. Tetapi jika hukum berobat sunnat, maka menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) mubah atau boleh.

5. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan bahwa Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Tes Formatif

Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan tepat dan benar!

1. Kata ‘eu’ dalam euthanasia memiliki arti:

a. Baik c. Pengobatan

b. Kematian d. Penyembuhan

2. Menghentikan pengobatan disebut dengan:

a. Euthanasia aktif c. Voluntary euthanasia

b. Euthanasia pasif d. Non voluntary euthanasi

3. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa hukum berobat adalah:

a. Sunnah c. Makruh

b. Wajib d. Haram

4. Euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien sendiri karena penderitaan yang sangat menyakitkan disebut dengan:

a. Voluntary euthanasia c. Involuntary euthanasia

b. Non voluntary euthanasia d. Euthanasia pasif

5. Euthanasia yang dilakukan atas permintaan keluarga pasien, disebut:

a. Voluntary euthanasia c. Involuntary euthanasia

b. Non voluntary euthanasia d. Eunthanasia pasif

6. Orang yang melakukan euthanasia atas permintaan pasien diancam pidana penjara paling lama dua belas tahun tercantum KUHP Pasal:

a. Pasal 340 c. Pasal 345

b. Pasal 344 d. Pasal 346

7. Berikut ini dalil diharamkan euthanasia aktif: kecuali:

a. QS. al-An’am:151 c. QS. al-Nisa:29

b. Qs. al-An’am 115 d. QS. al-Nisa:92

8. Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani tercantum dalam kode etik dokter pasal:

a. Pasal 4 c. Pasal 6

b. Pasal 5 d. Pasal 7

9. Kaedah yang menyatakan pada dasarnya perintah itu menunjukkan adanya tuntutan.

a. الأصل فى الأمر للوجوب c. الأصل فى النهي للتحريم

b. الأصل فى الأمر للطلب d. الأصل فى الأشياء للاباحة

10. Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum tercantum dalam KUHP pasal:

a. Pasal 354 c. pasal 356

b. Pasal 355 d. Pasal 357


Kunci Jawaban Tes Formatif

1. A 6. B

2. B 7. B

3. B 8. D

4. A 9. B

5. B 10. C

Daftara Pustaka

Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham Al-‘Uqubat. Beirut : Darul Ummah.

An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III. Al-Quds :
Mansyurat Hizb Al-Tahrir.

Audah, Abdul Qadir. 1992. At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islami. Beirut : Muassasah Ar-Risalah.

Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak).
Damaskus : Darul Fikr.

Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada.

Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta
: Gema Insani Press.

Zallum, Abdul Qadim. 1997. Hukm Asy-Syar’i fi Al-Istinsakh, Naql A’dha`, Al-Ijhadh,
Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul In’asy At-Tibbiyah, al-Hayah wa al-Maut. Beirut :
Darul Ummah.

________ 1998. Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan Islam :
Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ
Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al Izzah.

Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masail Fiqhiyah. Cetakan VI. Jakarta : CV. Haji Masagung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar