Secara etimologi, pernikahan berarti “persetubuhan” dan secara terminologi pernikahan adalah ‘akad yang dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari seorang wanita yang dilakukan dengan sengaja.” Pernikahan bertujuan menentramkan jiwa dan melestarikan keturunan sebagaimana firman Allah Swt:
والله جعل لكم من أنفسكم أزواجا وجعل لكم من أزواجكم بنين وحفدة ورزقكم من الطيبات
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rezeki dari yang baik-baik.” (QS. Al-Nahl:72).
Pernikahan pada hakikatnya bersatunya dua manusia (lelaki dan perempuan) yang berbeda satu sama lain, tetapi dapat disatukan dengan ikatan keimanan. Oleh karena itu, Islam melarang umatnya untuk menikah dengan wanita-wanita musyrik atau pula sebaliknya, perempuan muslim menikah dengan laki-laki musyrik. Karena keimanan merupakan prinsip utama dalam perkawinan. Hukum menikah dengan non muslim akan dibahas dalam bab ini.
Berdasarkan hukum munakahat yang diajarkan Islam kepada para penganutnya ialah perkawinan (pernikahan) yang dibenarkan oleh Allah SWT adalah suatu perkawinan yang didasarkan pada satu akidah, di samping cinta dan ketulusan hati dari keduanya. Dengan landasan dan naungan keterpaduan itu, kehidupan suami-isteri akan tenteram, penuh rasa cinta dan kasih sayang. Keluarga mereka akan bahagia dan kelak memperoleh keturunan yang sejahtera lahir batin.
Berdasarkan ajaran Islam, deskripsi kehidupan suami-istri di atas akan dapat terwujud bila suami-istri memiliki keyakinan agama yang sama, sebab keduanya berpegang teguh untuk melaksanakan satu ajaran agama, yaitu Islam. Tetapi sebaliknya, jika suami-istri berbeda agama maka akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan keluarga, misalnya dalam hal pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan tatakrama makan/minum, pembinaan tradisi keagamaan, dan lain sebagainya.
Ketentuan di atas berdasarkan firman Allah Swt:
ولا تنكحوا المشركات حتى يؤمنّ ولأمة مؤمنة خير من مشركة ولو أعجبتكم ...
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS. Al-Baqarah:221).
Perselisihan diantara ulama berkaitan dengan hukum menikah dengan orang yang berbeda agama adalah dilatarbelakangi oleh masalah status orang yang beda agama apakah mereka termasuk kategori ahlil kitab atau bukan. Adapun ulama yang menghukumi boleh menikah dengan orang yang beda agama dikarenakan mereka dianggap sebagai ahlil kitab. Sedangkan ulama yang tidak dibolehkan menikah dengan orang yang beda agama dikarenakan mereka dianggap sebagai orang musyrik yang telah mempersekutukan sesuatu dengan Allah.
Dalil dibolehkan menikah dengan ahlil kitab didasarkan kepada firman Allah Swt:
والمحصنات من المؤمنات والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم ....
“Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum kamu.” (QS. Al-Maidah:5).
Selain berdasarkan ayat di atas, juga didasarkan Sunah Nabi Saw yang pernah kawin dengan wanita Ahlul Kitab, yakni Mariah al-Qibtiyah (Kristen). Demikian pula seorang sahabat Nabi yang bernama Hudzaifah bin al-Yaman pernah kawin dengan seorang wanita Yahudi. Sedang para sahabat tidak ada yang menentangnya.
Namun demikian ulama yang tidak membolehkan menikah dengan orang yang beda agama seperti Kristen, Budha dan lain-lain karena pada agama mereka itu mengandung unsur syirik yang cukup jelas, misalnya pada ajaran Kristen terdapat ajaran trinitas dan mengkultuskan Nabi Isa dan ibunya Maryam sebagai Tuhan.
Ulama yang membolehkan menikah dengan orang yang beda agama pun dibatasi hanya pada pria muslim. Adapun pada wanita muslimah tidak dibolehkan menikah dengan laki-laki yang berbeda agama, karena didasarkan kepada ijma’ para ulama. Karena dikhawatirkan wanita muslimah itu kehilangan kebebasan beragama dan menjalankan ajaran-ajaran agamanya, kemudian terseret kepada agama suaminya. Demikian pula anak-anak yang lahir dari hasil perkawinannya dikhawatirkan pula mereka akan mengikuti agama bapaknya, karena bapak sebagai kepala keluarga terhadap anak-anaknya melebihi ibunya.
Pandangan beberapa ulama menikah dengan beda agama
Beberapa pandangan ulama mengenai beberapa teks ayat atau hadis Nabi Muhammad saw adalah sebagai berikut:
- Wanita Islam dengan pria bukan Islam. Seluruh ulama sejak zaman sahabat hingga abad modern ini sepakat bahwa wanita Islam haram hukumnya kawin dengan pria bukan Islam. Dasar keharamannya termaktub di dalam Alquran Surah Al-Baqarah/2:221.
ولا تنكحوا المشركين حتى يؤمنوا ولعبد مؤمن خير من مشرك ولو أعجبكم
"Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu".
Firman Allah di atas menegaskan kepada para wali untuk tidak menikahkan wanita Islam dengan laki-laki bukan Islam. Keharamannya bersifat mutlak, artinya wanita Islam mutlak haram kawin dengan laki-laki selain Islam baik laki-laki musyrik atau Ahlulkitab. Dengan begitu dapat ditegaskan bahwa satu syarat sahnya perkawinan seorang wanita Islam ialah pasangannya harus pria Islam.
Tidak bolehnya wanita muslimah menikah dengan orang yang berbeda agama dikuatkan oleh firman Allah tentang perempuan-perempuan mukminah yang turut hijrah ke Madinah: “Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka”. (QS. al-Mumtahanah:10).
Dalam ayat ini tidak ada pengecualian untuk ahli kitab. Oleh karena itu hukumnya berlaku secara umum. Yang boleh, ialah laki-laki muslim kawin dengan perempuan Yahudi atau Nasrani. Bukan sebaliknya, sebab laki-laki adalah kepala rumah tangga dan mengurus serta yang bertanggung jawab terhadap perempuan.
- Pria Islam dengan wanita bukan Islam. Dalam kitabnya, Tafsir Ayat Al-Ahkam, Ali Al-Sayis menjelaskan makna muhshanat dalam ayat 5 Surat Al-Maidah,
والمحصنات من المؤمنات والمحصنات من الذين اوتوا الكتاب من قبلكم
"Wanita-wanita yang menjaga kehormatan (al-muhshanat) di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab" adalah wanita yang merdeka (bukan hamba sahaya).”
Demikian pula Ali Al-Shabuni menjelaskan dalam Kitab Tafsir ayat Al-Ahkam-nya bahwa maksudnya adalah mengawini perempuan-perempuan merdeka dari perempuan-perempuan mukmin dan perempuan Ahlulkitab. Sedangkan mufassir lainnya menyatakan bahwa al-muhshanat adalah perempuan-perempuan yang memelihara kehormatan dirinya.
Adapun dasar keharaman mengawini seorang wanita Kitabiyah yang sudah menyimpang oleh karena kemusyrikan mereka. Firman Allah,
إتخذوا احبارهم ورهبانهم أربابا من دون الله والمسيح ابن مريم وما أمروا إلا ليعبدوا إلها واحدا لا إله إلا هو سبحانه عما يشركون
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah, dan (juga mereka telah mempertuhankan) Al-Masih Putra Maryam padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa (Allah). Tidak ada Tuhan selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan". (Q.S. At-Taubah/9:31).
Dengan demikian, seorang wanita musyrik haram dikawini oleh seorang pria Islam.
Yusuf Al-Qardlawi berpendapat bahwa kebolehan nikah dengan Kitabiyah tidak mutlak, tetapi dengan ikatan-ikatan (quyud) yang wajib untuk diperhatikan, yaitu, (1) Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi. Tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama yang bukan agama samawi; (2) Wanita Kitabiyah yang muhshanah (memelihara kehormatan diri dari perbuatan zina); (3) Ia bukan Kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan dengan kaum Muslimin.
Untuk itulah perlu dibedakan antara kitabiyah dzimmiyah dan harbiyah. Dzimmiyah boleh, harbiyah dilarang dikawini; (4) Di balik perkawinan dengan Kitabiyah itu tidak akan terjadi fitnah, yaitu mafsadat atau kemurtadan. Makin besar kemungkinan terjadinya kemurtadan makin besar tingkat larangan dan keharamannya. Nabi Muhammad saw. pernah menyatakan, "La dharara wa la dhirara (tidak bahaya dan tidak membahayakan)”.
Selanjutnya Qardlawi menyatakan beberapa kemurtadan (keburukan) yang akan terjadi manakala kawin dengan wanita non-Muslim: (1) Akan berpengaruh kepada perimbangan antara wanita Islam dengan laki-laki Muslim. Akan lebih banyak wanita Islam yang tidak kawin dengan laki-laki Muslim yang belum kawin. Sementara itu poligami diperketat dan malah laki-laki yang kawin dengan wanita Nasrani sesuai dengan ajaran agamanya serta tidak mungkin menyetujui suaminya berpoligami; (2) Suami mungkin terpengaruh oleh agama istrinya. Demikian pula anak-anaknya. Bila hal ini terjadi maka fitnah benar-benar menjadi kenyataan, dan (3) Perkawinan dengan non-Muslimah akan menimbulkan kesulitan hubungan suami istri dan kelangsungan pendidikan anak-anaknya. Lebih-lebih jika laki-laki Muslim dan Kitabiyah berbeda tanah air, bahasa dan budaya. Misalnya, seorang Muslim Timur kawin dengan Kitabiyah Eropa atau Amerika.
Sedangkan dalam Alquran dan tafsirnya, kelompok penerjemah dan penafsir Departemen Agama Republik Indonesia menyampaikan suatu pandangan bahwa, "Dihalalkan bagi laki-laki mukmin mengawini perempuan Ahlulkitab dan tidak dihalalkan mengawini perempuan kafir lainnya. Dan tidak dihalalkan bagi perempuan-perempuan mukmin kawin dengan laki-laki Ahlulkitab dan laki-laki lainnya".
Dalam fatwa MUI pada tahun 1980 ditetapkan bahwa perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki ahlil kitab adalah haram hukumnya. Landasan atas penetapan fatwa ini adalah zhahir nash al-Quran. Sementara, tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadahnya lebih besar daripada maslahahnya, Majlis Ulama Indonesia memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram.
Dengan demikian, pengharaman perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab didasarkan pada prinsip sadd adz dzariah, mencegah lahirnya mafasadah yang lebih besar; mengingat sekalipun ada mashlahah yang akan didapat, namun mafasadahnya lebih besar.
Kemudian pada Munas VII pada 28 Juli 2005 menetapkan fatwa tentang perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Demikian juga, perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah.
Nikah Beda Agama dalam UU Perkawinan
Pasal 2 (1) UUP berbunyi, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Di dalam penjelasan UUP itu dinyatakan bahwa, "Dengan perumusan Pasal 2 (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945". Prof. Dr. Hazairin, S.H. secara tegas menafsirkan pasal 2 (1), "Bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum-hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang Kristen dan bagi orang Hindu atau Hindu-Buddha seperti dijumpai di Indonesia".
Perkawinan campuran karena berbeda agama selalu hangat dan pelik untuk dibicarakan karena itu berhubungan dengan akidah dan hukum. Dalam bukunya, Rusli (1984) menyatakan bahwa "perkawinan antaragama tersebut merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita yang berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing, dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Oleh karena itu, di kalangan para ahli dan praktisi hukum, kita jumpai ada tiga mazhab yang berbeda dalam memandang Undang-undang Perkawinan bila dihubungkan dengan perkawinan antardua orang yang berbeda agama. Mazhab pertama mengatakan bahwa perkawinan antaragama merupakan pelanggaran terhadap undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf (f), di mana pasal tersebut berbunyi, "Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin".
Mazhab kedua berpendapat bahwa perkawinan antaragama adalah sah dan dapat dilangsungkan karena telah tercakup dalam perkawinan campuran. Sehingga pendukung mazhab ini berargumen bahwa Pasal 57 yang mengatur tentang perkawinan campuran menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Karena itu, pasal ini tidak saja mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan melainkan juga antara dua orang yang berbeda agama. Dan untuk pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh Pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran.
Sedangkan mazhab ketiga menyatakan bahwa perkawinan antaragama sama sekali tidak diatur dalam UUP nomor 1 tahun 1974 dengan anggapan bahwa peraturan-peraturan lama sepanjang Undang-undang itu belum mengatur masih dapat diberlakukan. Dengan demikian untuk persoalan perkawinan antaragama haruslah merujuk kepada Peraturan Perkawinan Campuran.
Dari ketiga mazhab di atas maka dapat disimpulkan bahwa sebaiknya penentuan boleh tidaknya perkawinan antarorang yang berbeda agama sehingga lebih baik, aman dan tidak menimbulkan masalah haruslah dikembalikan pada hukum agama. Artinya, bila hukum agama menyatakan sebuah perkawinan dikatakan boleh atau tidak, maka seharusnya hukum negara mengikutinya. Jadi, untuk perkawinan antaragama, penentuan boleh tidaknya bergantung pada hukum agama dan seluruh pemeluk agamanya wajib menaatinya.
Merujuk pada Undang-undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 Pasal 2 (1) jo. 8 (f) terhadap beberapa hal di atas, maka cenderung menyerahkan sepenuhnya kepada hukum agama masing-masing pihak untuk menentukan diperbolehkan atau dilarangnya perkawinan antaragama. Untuk itulah maka agama-agama selain Islam yang diakui eksistensinya di Indonesia memiliki pandangan yang sedikit berbeda.
Oleh karena, (1) Agama Katholik pada prinsipnya melarang dilakukannya perkawinan antaragama, kecuali dalam hal-hal tertentu Uskup dapat memberikan dispensasi untuk melakukan perkawinan antaragama; (2) Agama Protestan membolehkan dilakukannya perkawinan antaragama dengan syarat bahwa pihak yang bukan Protestan harus membuat surat pernyataan tidak berkeberatan perkawinannya dilangsungkan di gereja Protestan, dan (3) Agama Hindu dan Buddha melarang dilakukannya perkawinan antaragama.
Senada dengan ungkapan di atas, Daud Ali berpendapat berkaitan dengan pernikahan beda agama, diantaranya:
1. Perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama dengan berbagai cara pengungkapannya, sesungguhnya tidaklah sah menurut agama yang diakui keberadaannya dalam Negara Republik Indonesia. Dan, karena sahnya perkawinan didasarkan pada hukum agama, maka perkawinan yang tidak sah menurut hukum agama, tidak sah pula menurut Undang-undang Perkawinan Indonesia.
2. Perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama adalah penyimpangan dari pola umum perkawinan yang benar menurut hukum agama dan Undang-undang Perkawinan yang berlaku di tanah air kita. Untuk penyimpangan ini, kendatipun merupakan kenyataan dalam masyarakat, tidak perlu dibuat peraturan tersendiri, tidak perlu dilindungi oleh negara. Memberi perlindungan hukum pada warga negara yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila sebagai cita hukum bangsa dan kaidah fundamental negara serta hukum agama yang berlaku di Indonesia, pada pendapat saya selain tidak konstitusional, juga tidak legal.
Latihan
Untuk memantapkan pemahaman Anda terhadap materi ini, jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:
1. Jelaskan hukum menikah dengan non muslim?
2. Jelaskan pandangan ulama tentang menikah dengan non muslim?
3. Jelaskan Undang-undang perkawinan tentang menikah dengan orang beda agama?
4. Jelaskan fatwa MUI tentang menikah beda agama?
5. Jelaskan mudharat (bahaya) yang ditimbulkan menikah dengan orang beda agama?
Rangkuman
1. Pernikahan pada hakikatnya bersatunya dua manusia (lelaki dan perempuan) yang berbeda satu sama lain, tetapi dapat disatukan dengan ikatan keimanan. Oleh karena itu, Islam melarang umatnya untuk menikah dengan wanita-wanita musyrik atau pula sebaliknya, perempuan muslim menikah dengan laki-laki musyrik. Karena keimanan merupakan prinsip utama dalam perkawinan.
2. Perselisihan diantara ulama tentang pernikahan beda agama dilatarbelakangi oleh ayat al-Quran (QS.al-Maidah:5) yang membolehkan menikah dengan ahlil kitab, dan larangan al-Quran (QS. al-Baqarah:221) tentang menikahi orang-orang musyrik.
3. Menurut Yusuf Al-Qardlawi bahwa kebolehan nikah dengan ahli kitab berdasarkan QS. al-Maidah:5) tidak mutlak, tetapi dengan ikatan-ikatan (quyud) yang wajib untuk diperhatikan, yaitu, (1) ahli kitab itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi. Tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama yang bukan agama samawi; (2) ahli kitab itu adalah wanita Kitabiyah yang muhshanah (memelihara kehormatan diri dari perbuatan zina); (3) Ia bukan Kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan dengan kaum Muslimin. Dengan demikian, menikah dengan orang yang beda agama seperti Kristen dll tidak dibolehkan karena agama mereka tidak lagi termasuk ajaran samawi.
4. MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa laki-laki muslim tidak dibolehkan menikah dengan wanita yang beda agama berdasarkan mafsadatnya lebih besar daripada maslahatnya.
5. Pasal 2 (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Di dalam penjelasan UUP itu dinyatakan bahwa, "Dengan perumusan Pasal 2 (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945". Berdasarkan undang-undang tersebut perkawinan dianggap sah berdasarkan agama dan kepercayaannya.
Tes Formatif
Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan benar dan tepat
1. Hukum menikah dengan ahlil kitab adalah:
a. Sunah c. Mubah
b. Makruh d. Haram
2. Hukum menikah dengan orang musyrik adalah:
a. Sunah c. Mubah
b. Makruh d. Haram
3. Fatwa MUI bahwa hukum laki-laki muslim menikah dengan wanita non muslim adalah:
a. Sunah c. Mubah
b. Makruh d. Haram
4. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan termaktub dalam Undang-undang Perkawinan Pasal:
a. Pasal 1 ayat 1 c. Pasal 2 ayat 1
b. Pasal 1 ayat 2 d. Pasal 2 ayat 2
5. Dalil dibolehkan menikah dengan ahlil kitab adalah:
a. QS. al-Baqarah:221 c. Al-Maidah:15
b. QS. al-Baqarah:5 d. Al-Maidah:5
6. Dalil diharamkan menikah dengan orang musyrik adalah:
a. QS. al-Baqarah:221 c. Al-Maidah:15
b. QS. al-Baqarah:5 d. Al-Maidah:5
7. Berikut ini pengaruh yang akan terjadi jika dilangsungkan pernikahan beda agama:
a. Perselingkuhan c. kebahagiaan
b. Status agama anak mereka d. kedamaian
8. Berikut ini ulama yang memberikan batasan-batasan kebolehan menikah dengan ahli kitab:
a. Imam Mahalli c. Yusuf Qardhawi
b. Imam Mahdi d. Mahmud Syaltut
9. Berikut ini batasan-batasan dibolehkan menikah dengan ahli kitab: kecuali,
a. Ahli kitab berpegang ajaran samawi c. Bukan pezina
b. Ahli kitab orang yang dikenal d. Bukan orang yang memerangi Islam
10. Berikut ini alasan MUI mengeluarkan fatwa haram menikah beda agama:
a. Lebih banyak mafsadat c. Banyak kebimbangan
b. Banyak manfaatnya d. Banyak orang yang melakukannya
Jawaban Tes Formatif
1. C 6. A
2. D 7. B
3. D 8. C
4. C 9. B
5. D 10. A
Daftar Pustaka
Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Darul Fikri, Beirut, Jilid 1 dan 2.
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta: elSAS, 2008.
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Darul Fikri, Beirut, jilid 2
Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram, Terj. Tim Kuadran, Bandung: Jabal, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar